Kejadiannya sudah hari Senin minggu lalu, saat rame-ramenya orang memenuhi Monas untuk melihat orang nomor satu RI, Jokowi memberikan sambutannya. Semua orang bebas masuk, tanpa ada penyortiran apapun. Tentu saja situasi ini mengundang banyak pihak yang mencoba mengambil peruntungan dengan cara tidak halal, alias mencopet.
Saya bahkan sempat lihat seorang remaja yang menggerayangi dan mencoba membuka tas orang di depan saya. Di depan mata, dia pun cuek saja, bahkan saat saya lihat dan tegur pun. Setelah ketahuan, dia hanya mundur, dan bahkan cuek duduk di belakang, tanpa khawatir sama sekali kalau baru saja terpergok. Mungkin yang ini memang copet amatir. Setelah lampion (yang cuma sedikit itu) diterbangkan, banyak para pengunjung yang mulai mendesak maju. Saya pun akhirnya mundur. Tak berapa lama baru tersadar kalau salah satu ponsel saya pun raib. Kok ya yang diambil yang mahal, bukan ponsel yang butut ya, padahal keduanya berada di kantung celana yang sama.

Cerita postingan ini sebenarnya bukanlah tentang ponsel hilang. Sudah, saya sudah ikhlas kok. Sekarang masih menunggu gantinya. Yang saya mau ceritakan justru pengalaman selama seminggu ini tanpa smartphone. Keesokan harinya, saat saya berangkat meeting ke Sudirman, saya menggunakan taksi. Ada kebiasaan yang hilang, yang membuat saya sangat merasa kekurangan saat itu. Biasanya setiap kali saya menunggu (saat itu di dalam taksi), kedua tangan saya selalu menggenggam ponsel. Saya habiskan waktu menunggu dengan membaca apa yang terlintas di Twitter dan di Line group. Setiap kali itulah yang saya lakukan. Saya saat itu tiba-tiba merasa tidak nyaman. Saya tidak bisa melakukan kebiasaan yang sudah rutin saya lakukan. Tangan saya terasa hampa, karena tidak melakukan aktivitas apapun.
Saat itu langsung terlintas di benak saya, kalau saya memang sudah terkena “candu” ponsel. Rasanya aneh tidak bisa membaca info secara real time. Rasanya aneh kalau saya ketinggalan cerita yang muncul di social media. Rasanya aneh ketika orang lain tahu lebih dahulu info daripada saya. Apakah saya memang sudah terkena Nomophobia?
Nomophobia (no-mobile-phone-phobia) adalah ketakutan dan kekhawatiran saat tidak memegang ponsel. Ketika kita tidak memegang ponsel, serasa ada sesuatu yang hilang. Akibatnya, kita bisa menjadi tidak semangat, serba salah, dan bahkan stres. Pernah nggak kalian merasa cemas ketika batere ponsel mau habis, tapi tidak ada colokan listrik untuk men-charge? Ataukah panikkah kalian ketika tidak ada jaringan wi-fi yang mendukung, sementara ponsel kalian lagi kehabisan paket data? Kalau iya, bisa jadi kalian terkena nomophobia. Hahaha, lalu bayangkan kalau tiba-tiba ponsel kalian hilang dan kehilangan semua akses dengan dunia internet.
Rekor saya tidak mengakses internet terlama adalah 5 hari. Saat itu saya memang berada di suatu tempat di China yang tidak ada wi-fi sama sekali. Tentu saja saya merasa cemas di awal, tapi lama-lama kecemasan itu berangsur hilang, karena saya disibukkan oleh aktivitas lain. Saat itu setiap harinya memang saya pergi berjalan-jalan dan memotret. Kalau ada waktu kosong, ketidakbisaan saya mengakses internet, saya tutup dengan menuliskan aktivitas saya secara offline.
Hari ini adalah hari ke-7 saya tanpa ponsel cerdas. Saya masih bisa mengakses internet sih di rumah dan kantor (tidak separah di China dulu). Namun saya tetap tidak bisa melakukannya saat saya di luar dua lingkungan itu. Lalu apa yang saya lakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan saya tanpa internet? Paling saya membawa sebuah buku kosong, lalu saya mencoret-coret saja di situ. Entah apapun. Setidaknya ini bisa untuk mengurangi waktu menganggur saya saat sedang menunggu sesuatu.
Bisa jadi tanpa sadar, kalian pun terkena sindrom serupa dengan saya. Kalau iya, biasanya apa yang kalian lakukan untuk menutupinya?